Aku Tidak Sedang Berlari

Hari ini tidak turun hujan. Cuacanya tidak panas dan tidak dingin. Ada sebuah kelembapan di udara yang menggantung tidak pasti; mungkin hujannya turun nanti, atau mungkin sedetik lagi, atau tidak sama sekali. Awan-awan di langit saling bersentuhan satu sama lain, berkejar-kejaran di langit, tetapi sepertinya mereka tidak akan menangis untuk beberapa jam ke depan.

Aku baru saja menyelesaikan Kafka on the Shore. Kini aku menatap ke jendela kayu beberapa meter di depanku. Ia terbuka, memperlihatkan sebuah pemandangan langit sore yang tenang. Bingkainya membatasi antara dinding dan langit, seolah-olah membentuk sebuah lukisan realis yang sangat nyata sedang tergantung di dinding. Seperti lukisan yang ada di dalam buku.

Continue Reading

Trilogi Ke : #3 Ketakutan

Ada satu titik di dalam tubuh ini, di mana ia mencoba dengan segenap hati dan jiwanya untuk muncul ke permukaan. Namun titik ini selalu kalah oleh teman-temannya; ego, otak, tangan, pikiran, dan teman-temannya yang lain. Titik ini sudah bosan berada di dalam, namun otak selalu membentaknya jika ia memaksa untuk keluar; apa kau tidak malu dengan dirimu sendiri?

Continue Reading

Trilogi Ke : #2 Kehilangan

Ini pagi empat November. Sudah kuobrak-abrik kamar asramaku, tetapi kunci itu tidak bisa kutemukan. Kunci motor sialan dengan gantungan oli Top One berwarna kuning cerah itu seperti hilang ditelan bumi. Sudah keempat kalinya aku membalik selimutku, membalik buku-bukuku, dan entah keberapa kalinya aku memandangi rak di mana seluruh peralatan mandiku terletak. Tetap tidak ada. Kunci motor itu lenyap.

Continue Reading

Trilogi Ke : #1 Kejatuhan

Hari itu tanggal tiga November. Aku sedang berjalan ke kamarku di lantai dua asrama ketika aku terpeleset dan mematahkan leherku. Saat itu hujan deras sedang turun sehingga tidak ada yang mendengar suara berdebum tubuhku yang jatuh ke dasar tangga.

Entah bagaimana, aku terjatuh dengan posisi kepala berada di dasar tangga, dan kakiku masih berada di tangga. Yah, gampangnya aku berada dalam posisi terbalik; kepala di bawah, kaki di atas. Lucu sekali bagaimana aku melihat darah yang bercampur dengan air hujan mengalir dari dalam tubuhku, menyebar ke lantai, membuat noda menggenang yang berwarna merah terang. Dari sudut mataku aku melihat tanganku yang tertekuk dengan aneh. Mungkin tanganku patah juga. Entahlah. Aku sudah mati rasa sejak kehujanan tadi.

Continue Reading

MERAH

Waktu itu, jalanan Jakal sedang ramai-ramainya. Maklum, malam minggu. Namun lucunya jalanan depan Mirota Kampus tidak terlalu ramai. Namun bukan itu yang ingin aku ceritakan.

Aku duduk di salah satu warung makan di sebelah barat Grha Sabha Pramana. Aku ingat betul aroma nasi goreng yang menguar dari wajan. Aku duduk menghadap timur, dan sudah jelas aku bisa memandang GSP dari sebelah sini.

Ada yang aneh. Kemarin, waktu aku pulang dari kampus, aku ingat betul warna lampu-lampu bulat yang berjajar mengitari GSP. Oranye, bukan? Aku yakin benar warnanya oranye, bukan putih, apalagi biru.

Tapi malam ini warna lampunya merah. Merah terang, seperti kalau kau menumpahkan cat merah ke bulatan-bulatan lampu.

Continue Reading

Tes

Pagi itu hujan. Aku sempat menggosokkan sepatuku yang berlumuran lumpur di tepi tangga. Suara bel masuknya hampir kalah dengan suara gemuruh petir. Hari ini adalah tes terakhir, pikirku. Sepuluh soal terakhir untuk lulus tes dan diterima di universitas yang aku inginkan. Setidaknya hujan membuat hawanya terasa lebih dingin, sehingga tidak ada lagi kertas soal basah karena keringat yang berkali-kali diseka.

Continue Reading