Tes

Pagi itu hujan. Aku sempat menggosokkan sepatuku yang berlumuran lumpur di tepi tangga. Suara bel masuknya hampir kalah dengan suara gemuruh petir. Hari ini adalah tes terakhir, pikirku. Sepuluh soal terakhir untuk lulus tes dan diterima di universitas yang aku inginkan. Setidaknya hujan membuat hawanya terasa lebih dingin, sehingga tidak ada lagi kertas soal basah karena keringat yang berkali-kali diseka.

Sudah enam puluh menit sejak bel masuk berbunyi. Lama-lama aku merasa bosan, karena disamping mengerjakan soal yang lumayan rumit ini, tidak ada lagi hal yang bisa dikerjakan. Lain lagi masalahnya jika bernafas dan menunggu bel pulang berbunyi ikut dihitung. Untuk mengusir kebosanan, aku memandang ke luar jendela. Hujannya masih belum berhenti. Meringkuk di atas tempat tidur dengan selimut tebal sepertinya nyaman sekali di hawa seperti ini.
Aku mengalihkan pandangan kembali pada kertas soal. Ada dua pertanyaan yang belum kukerjakan. Sejenak aku mengerutkan dahi dengan sebal. Mengapa harus ada soal sesulit ini?

Anak di samping kanan kiriku sepertinya sedang asyik mengerjakan. Entah asyik mengerjakan karena penasaran dengan jawaban-jawabannya atau asyik menebak kira-kira jawaban mana yang paling tepat. Pak, pak, tung. Tepat tepat untung.
Aku baru sadar bahwa kelas hening sekali. Suara detik jam dinding di belakang kelas terdengar begitu keras. Jarumnya berdetik secara teratur dan monoton; berbunyi dengan harmoni membosankan yang berulang.

Iseng, aku mencoba untuk menghilangkan kepenatan ini dengan ‘mendengarkan’ seluruh isi kelas. Ketika aku memejamkan mata, aku seolah bisa merasakan semuanya. Gesekan-gesekan yang terjadi antar tangan dengan meja di ujung sana, suara decitan yang ditimbulkan oleh sepatu di belakang sana, suara pensil dan kertas yang beradu, dan pandangan seseorang yang sejak tadi tertuju padaku.

Tatapan dari seorang laki-laki berusia setengah baya itu tak kunjung teralihkan dariku. Entahlah, apa mungkin aku terlalu menarik untuk dilewatkan? Sebenarnya masih banyak hal lain yang lebih pantas untuk diperhatikan daripada seorang perempuan mungil berambut kusut di pojok ruangan ini. Jika laki-laki itu jeli, akan ditemukannya beberapa bungkus makanan kosong yang berserakan di bawah bangku nomor empat. Mungkin tulisan ‘DILARANG MEMBAWA MAKANAN’ yang termpampang besar di dinding belakang ruangan ini tidak berarti apa-apa bagi si pemilik bangku. Sialan sekali dia, pikirku. Aku sudah berjuang setengah mati untuk menahan perutku yang lapar ini, tetapi dia malah makan snack seenaknya.

Konsentrasi. Konsentrasi. Delapan dari sepuluh soal sudah terkerjakan. Aku sudah selangkah lebih maju dari siapapun di ruangan ini, aku yakin. Tetapi dua soal terakhir ini! Berlembar-lembar kertas sudah kupakai, namun jawabannya masih tidak ketemu juga. Lucu sekali bagaimana sepuluh soal di dalam kertas ini bisa menentukan seluruh kehidupanmu. Jika aku gagal mendapat nilai sempurna, bisa jadi aku tidak akan diterima di universitas yang kuinginkan. Jika aku gagal bersaing dengan berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus, siswa yang mendaftar di universitas yang sama, bisa jadi uang saku bulananku dihentikan dan aku akan hidup terlunta-lunta di jalanan.
Lucu sekali bagaimana sepuluh soal di dalam kertas ini bisa menentukan seluruh kehidupanmu.

“Sepuluh menit lagi,” kata laki-laki tadi dengan suara datar. Efek dari perkatannya tersebut langsung terlihat. Beberapa anak di barisan depan menundukkan badannya lebih dalam lagi, menarik-narik rambut masing-masing dengan frustasi, beberapa lainnya menghembuskan nafas panjang. Aku yakin nafas tersebut bukan nafas lega, melainkan nafas pasrah. Aku sendiri tak terlalu bereaksi. Menariki rambut tidak dapat menyelesaikan permasalahan.

Detik jam yang konstan tadi seolah menebar teror. Semakin lama detiknya akan menjadi semakin cepat, seolah-olah akan mengejar siapapun yang berani berhenti berlari di bawah pengawasannya. Bunyi tik-tik-tik yang terdengar itu bisa saja membuat salah satu anak di ruangan ini menjadi gila.

Kemudian suara detik jam itu terputus oleh suara bel pulang. Sial! Jadi waktuku mencoret-coret lembar soal dengan perhitungan tak berujung itu tadi sepuluh menit? Terpaksa aku mengarsir jawaban yang paling mungkin dari dua pertanyaan tak terjawab tadi. Atau kata lainnya, ngarang. Dengan perasaan kecewa, kuletakkan kertas jawabanku di meja paling depan. Aku tidak bisa menjawab seluruh soalnya dengan baik dan benar. Pertanyaannya sudah kucatat di telapak tanganku, nanti akan kucoba untuk mengerjakannya lagi jika ada waktu atau jika tulisan di tanganku tidak terhapus oleh keringat.

Seharusnya tidak ada soal sesulit itu! pikirku dengan sebal. Namun apa daya, yang sudah terjadi biarlah terjadi. Percuma memikirkan kembali pertanyaan-pertanyaan rumit itu, membuat kepala pusing saja. Sekarang hanya tinggal menunggu pengumuman hasil tes. Selama kurun waktu dua minggu yang menegangkan itu aku hanya bisa pasrah. Berdo’a kepada Yang Maha Pencipta agar jawabanku yang salah bisa dibenarkan, tidak peduli dengan cara apa.
Aku kemudian berjalan keluar kelas. Diluar masih hujan. Rintik-rintiknya di atas ubin putih seakan menertawakan kebodohanku. Setelah mencibir ke arah mereka, aku segera memalingkan muka dan enyah dari tempat itu.

 

September 9th 2014

other by me

Leave a Reply

Your email address will not be published.